Minggu, 31 Maret 2013

Keruntuhan dan Peninggalan Kerajaan Cirebon



Masa Keruntuhan dan Peninggalan Kerajaan Cirebon
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia Madya yang dibina oleh
Deny Yudo Wahyudi
Oleh:
Athoi Muhamad (120731435951)









UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM PENDIDIKAN SEJARAH
Maret, 2013

PEMBAHASAN

A.   Runtuhnya Kerajaan Cirebon

            Pada  saat tahun 1649 Panembahan Ratu Pangeran Emas telah meninggal pada usia 102 tahun. Dengan wafatnya Dipati Cerbon ke II, maka panembahan ratu menunjuk cucunya yaitu Pangeran Karim untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan Cerbon Menggantikan ayahnya yaitu Dipati Cerbon ke II. Pangeran Karim waktu itu berusia 48 tahun menggantikannya sebagai Kepala Pemerintahan Cerbon yang ke III dengan gelar Panembahan Ratu II.
            Karena beliau wafat di Mataram sekitar tahun 1667 dan dimakamkan di pemakamn di bukit Girilaya, maka disebutlah beliau oleh anak cucunya dengan sebutan Panembahan Girilaya. Akhirnya nama Panembahan Girilaya itulah yang disebut terus menerus dalam berbagai sumber sejarah, baik dalam Babad Cirebon, Sejarah Cirebon, Kitab Negara Kertabumi, maupun Kitab Purwaka Caruban Nagari. Oleh Karena itu nama Panembahan Girilaya lebih terkenal dari pada gelar resmi pada waktu penobatannya yaitu Panembahan Ratu ke II. 
            Pada saat Panembahan Ratu masih hidup beliau mengawinkan Panembahan Girilaya dengan Putri Sunan Amangkurat ke 1 tapi, untuk masalah kapan diselenggarakannya pernikahan ini sendiri tidak jelas, karena saat itu Sunan Amangkurat ke 1 baru naik tahta. Dan jika melihat pada literatur lain itu adalah perkawinan kedua Panembahan Girilaya. Pada perkawinannya yang pertama beliau dikaruniai 2 orang anak yang bernama Panembahan Katimang dan Pangeran Gianti sedang pada perkawinan ke II mendapat 3 orang anak yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
            Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu hubungan antara Cirebon dan Mataram sangat Harmonis dan itu terjadi hampir selama 6 tahun. Tetapi setelah Cirebon dipimpin Panembahan Girilaya hubungan yang tadinya harmonis berubah menjadi agak merenggang karena perubahan sikap dari Amangkurat 1 yang beranggapan bahwa Cirebon tak lebih baik atau tidak sederajat dengan Mataram. VOC yang mengetahui kerenggangan hubungan antara Mataram- Cirebon memanfaatkan benar peluang ini untuk mengadu domba mereka. Dalam waktu yang singkat strategi politik “Adu Domba” VOC bisa membuat kesemrawutan dalam tubuh Kerajaan Mataram.
            Dalam kondisi yang serumit itu Sunan Amangkurat 1 diduga berusaha denga keras mengatasinya dengan tindakan “pembersihan dan penertiban” yang pada nyatanya dilakukan dengan kejam dan kekerasan. Tindakan itu memakan banyak korban sehingga Panglima Angkatan Perang Mataram yang diandalakan  ayahnya sendiri yaitu Dipati Anom yang sekaligus putra Mahkota mulai membenci dan meninggalkan Sunan Amangkurat 1.
            Pada saat yang seperti itu Mataram mendapat kunjungan dari Panembahan Girilaya beserta 2 orang anaknya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kertawijaya serta pengawalnya yang diperkirakan pada tahun 1666/1667. Namun alasan Panembahan Girilaya mengunjungi Mataram dan sampai di sana (diperkirakan pada saat berumur 66 tahun) tidak ada penjelasan yang pasti. Setelah kejadian wafatnya Panembahan Girilaya kedua anaknya yang ikut ke Mataram tadi ditahan dan dibawa oleh Trunojoyo pada tahun 1678 dari Mataram ke Kediri. Sejak wafatnya Panembahan Girilaya Cirebon telah terpecah belah dan hancur sehingga tidak mempunyai wibawa lagi dan akhirnya menjadi mainan belanda, mataram dan banten.
            Tidak berhenti disini timbul masalah baru yakni para kerabat Kerajaan yang setia pada Panembahan Girilaya yang tidak terima akan kemunduran Cirebon meminta bantuan dari Sultan Ageng Tirtayasa Dari Banten. Dan untuk mengisi kekosongan dengan cepat dan dengan pertimbangan yang matang Sultan Ageng Tirtayasa menetapkan pejabat Kepala Negara Cirebon yaitu anak ketiga Panembahan Girilaya yaitu adalah Pangeran Wangsakerta yang pada waktu itu tidak ikut kedalam kunjungan ke Mataram dinobatkan sebagai Sultan Cirebon oleh Sultan Banten.
            Pada saat itu setelah Trunojoyo dapat memukul mundur pasukan Cirebon dan dapat membuat ketakutan serta membuat lari Sunan Amangkurat 1. Hilanglah kekuasaan Mataram yang Kejam dan Otoriter dan pada saat itu atas permintaan Sultan Banten, Sultan Banten meminta Trunojoyo membawa dua putra mahkota pesakitan itu untuk dibawa ke Kediri dan selanjutnya dibawa ke Banten. Selanjutnya karena kurangnya keterangan yang jelas proses kembalinya 2 pangeran itu ke Cirebon kurang jelas dan pula penobatannya Pangeran Martawijaya sebagai Sultan Sepuh dengan gelar Raja Syamsudin dan Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom dengan gelar Sultan Mahmud Badridi.
            Dengan adanya tiga sultan di Kerajaan Cirebon ini adalah titik dari masa akhir Kerajaan Cirebon. Pada masa itu sudah ada usulan untuk membagi kerajaan menjadi 3 bagian tapi apa mau dikata ketidaksepahamlah yang didapat , karena masing masing mempunyai minat yang sama untuk menjadi sultan Cirebon. Pada tahun 1681 tepatnya 23 Januari dilaksanakanperjanjian persahabatan antara  Sultan-Sultan Cirebon dengan pihak VOC yang diwakili oleh Van Dyck.
            Dari penandatanganan itu mengandung arti besar, karena peristiwa itu menjadi akar dari konflik baru dicirebon. Menurut keterangan P.S. Sulendranigrat dalam bukunya “Sejarah Cirebon” peristiwa penandatanganan inimenimbulkan perpecahan dari para pembesar pemerintahan di Cirebon tentunya adalah pro dan kontra diadakannya penandatangan perjanjian persahabatan tersebut. Dan setelah VOC bubar tahun 1800 maka Gubernur Jenderal Daendles menetapkan langkah strategis dengan mengeluarkan Reglement op het beheer van de Cheribonsche Landen pada 2 februari 1809 dan dengan  keluarnya itu tadi maka Sultan-Sultan  di Cerbon yaitu Kasepuhan , Kanoman dan Kacirebonan tidak memiliki kekuasaan lagi karena dijadikan Pegawai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pada saat akan keluar keputusan Pemerintah Kolonial Belanda , maka di Kesultanan Kanoman terjadi peristiwa pemecahan diri Kanoman menjadi Kanoman dan Kacerbonan. Dengan Fakta diatas dapat kita ketahui faktor faktor penyebab runtuhnya kerajaan Cirebon.

B.   Peninggalan-peninggalan Kerajaan Cirebon

v 
Keraton Kasepuhan Cirebon


Sekarang terletak di Kecamatan Lemah Wungkuk Kotamadya Cirebon. Di keratin Kasepuhan ini akan kita dapati bangunan-bangunan dengan arsitekturnya yang khas, benda kuno, kereta Singa Barong dan naskah kuno.




v Kereta Singa Barong Kasepuhan



Kereta Singa Barong adalah hasil karya Panembahan Losari, cucu Sunan Gunung Jati, yang dibuatnya pada 1549. Ukiran binatang pada kereta Kereta Singa Barong ini berbelalai gajah yang melambangkan persahabatan Kasultanan Cirebon dengan India, berkepala naga sebagai lambang persahabatan dengan Cina, serta bersayap dan berbadan Buroq yang melambangkan persahabatan dengan Mesir.

v
Keraton Kanoman

Keraton Kanoman didirikan oleh Sultan Kanoman I (Sultan Badridin). Terletak sebelah utara (300 meter) dari keratin Kasepuhan Keraton ini berdiri sejak Panembahan Girilaya Wafat.







v Kereta Paksi Naga Lima











Kereta Paksi Naga Liman yang merupakan Kereta kebesaran Sunan Gunung Jati dan para Sultan Cirebon ini dibuat pada tahun yang sama dengan Kereta Jempana, yaitu tahun Saka 1350 atau 1428, juga atas prakarsa Pangeran Losari. Kereta Paksi Naga Liman menggabungkan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) yang belalainya memegang senjata trisula ganda. Keistimewaan Kereta Paksi Naga Liman yang disimpan di Keraton Kanoman ini ada pada bagian sayapnya yang bisa mengepak saat kereta sedang berjalan.

v
Keraton Kacirebonan

Keraton Kacirebonan merupakan keraton yang paling kecil diantara keraton lain yang ad di daerah cirebon.Sejarah Keraton Kacirebonan dimulai ketika Pangeran Raja Kanoman, pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman bergabung dengan rakyat Cirebon dalam menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan. Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut

v Masjid Sang Cipta Rasa



Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun pada tahun 1498 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari Majapahit) bersama dengan 200 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak. Mesjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan kepercayaan. Penduduk Cirebon pada masa itu menamai mesjid ini Mesjid Pakungwati karena dulu terletak dalam komplek Keraton Pakungwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan komplek Keraton Kesepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya dalam tempo satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah dipergunakan untuk shalat Subuh. Nama Masjid Sang Cipta Rasa sendiri mempunyai Makna Filosofi Sang berarti Agung, Cipta berarti Bangunan sedang rasa berarti manfaat, sehingga arti kata Sang Cpta Rasa maksudnya berarti Bangunan yang memilki Manfaat yang Agung/besar yang dikaitkan dengan kegiatan syiar agama islam dan agama di tanah cirebon.Keunikan Masjid ini yaitu dengan diadakannya adzan Pitu (tujuh Muadzin) pada setiap sholat jum’at. Masjid Agung Sang Ciptarasa (sebutan sehari-harinya masjid agung) ini merupakan salah satu bagian dari kraton Kasepuhan. Masjid ini terletak di sebelah barat Alun-Alun Sangkalabuwana (Alun-Alun depan Keraton Kasepuhan). Luas arealnya sekitar 4.750 meter persegi. Di dalamnya terdapat beberapa sakaguru yang berfungsi sebagai penopang struktur bagian atas. Yang lebih menarik lagi adalah saka tatal-nya, yaitu sebuah tihang penopang yang cukup kuat, walaupun hanya terbuat dari serpihan-serpihan kayu.

v Makam Sunan Gunung Jati

Makam Sunan Gunung Jati Dihiasi dengan keramik buatan Cina dari jaman Dinasti Ming. Di komplek makam ini di samping tempat dimakamkannya Sunan Gunung Jati juga tempat dimakamkannya Fatahilah panglima perang pembebasan Batavia. Lokasi ini merupakan komplek pemakaman bagi keluarga Keraton Cirebon, terletak + 6 Km ke arah Utara dari Kota Cirebon Jawa Barat.dan makam ini selalu ramai di kunjungi orang untuk berziarah,apalagi waktu malam jum'at

Makam Sunan Gunung Jati yang berada di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya.

Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam.Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.


















Daftar Rujukan

Sunardjo Unang R.H.1983.Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809.Bandung: Tarsito

Zuhdi Susanto.1997.Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI